Kedatangan penjajah Belanda ke bumi
nusantara pada akhir abad ke-16 silam mendapat perlawanan sengit dari
berbagai kerajaan di Tanah Air. Mereka para anak bangsa tidak sudi
kekayaan alamnya dieksploitasi orang asing dari daratan Eropa itu.
Alhasil, perang sengit dengan serdadu Belanda pun tidak terhindarkan.
Perlawanan heroik dari berbagai kerajaan nusantara inilah yang kemudian membuat Belanda kalang kabut. Bahkan, pertempuran demi pertempuran mamsih terus berlanjut dalam rangka merebut kemerdekaan dari bangsa penjajah. Berikut ulasan singkat mengenai lima perang besar sepanjang sejarah bangsa Indonesia.
Perang Jawa (1741-1743)
Perang Jawa merupakan perang besar di masa pemerintah kolonial Belanda. Dilansir dari laman boombastis.com, perang ini melibatkan bala tentara Jawa dan etnis Tionghoa yang geram dengan pendudukan serdadu Belanda di Batavia. Kompeni bahkan tega membanti ribuan orang etnis Tionghoa dalam jangka waktu dua pekan.
Akhirnya, sentimen anti-kolonial meluas hingga ke wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Belanda kala itu diperkuat sekira 3.400 tentara bersenjata lengkap, sedangkan pasukan pribumi menang jumlah dengan mencapai puluhan ribu tentara namun mereka hanya menggunakan senjata ala kadarnya. Pertempuran ini akhirnya berhasil diredam Belanda dan kerajaan di Tanah Jawa perlahan tapi pasti berhasil dikuasai.
Perang Diponegoro (1825-1830)
Perang yang dijuluki Perang Jawa jilid II ini melibatkan kekuatan yang jauh lebih besar. Terdapat sekira 100 ribu tentara di bawah komando Pangeran Diponegoro menyerang serdadu Belanda. Pertempuran ini berlangsung selama lima tahun.
Kemenangan akhirnya berpihak pada Belanda. Meski keluar sebagai pemenang perang, namun Belanda menderita kerugian materi sangat besar sehingga diambang kebangkrutan. Dari sinilah Johannes van den Bosch akhirnya mengeluarkan perintah sistem tanam paksa (cultuurstelsel) yang membuat para penduduk di Tanah Jawa kian menderita.
Pertempuran Batavia (1628-1629)
Aktor penyerbuan Batavia tidak lain ialah Sultan Agung dari Mataram. Penyerbuan itu dilatarbelakangi oleh VOC yang memonopoli perdagangan. VOC juga menolak mengakui kedaulatan Mataram. Keberadaan VOC di tanah Batavia yang dianggap sebagai ancaman serius bagi masa depan Pulau Jawa membuat Sultan Agung tidak tinggal diam.
Sultan Agung lalu mengerahkan banyak pasukan untuk menyerang Batavia yang saat itu dipimpin oleh Jan Pieterszoon (JP) Coen. Sebanyak dua kali serangan ke Batavia dilancarkan. Namun, lagi-lagi Belanda berhasil memenangkan pertempuran. Banyak tentara dari Sultan Agung meninggal dunia akibat penyakit kolera dan malaria. Namun, meski kalah, pasukan Mataram tak kehilangan akal.
Mereka mengirimkan wabah penyakit ke Batavia. Prajurit Mataram lalu mencemari Sungai Ciliwung dengan bangkai binatang. Hasilnya efektif, selang tak berapa lama Batavia diserang wabah kolera lantaran meminum air dari Sungai Ciliwung yang terkontaminasi bangkai tadi.
Banyak warga tewas akibat penyakit ini, termasuk istri JP Coen, Eva Ment. Empat hari berselang, JP Coen juga meninggal dunia lantaran wabah tersebut. Jenazahnya pun oleh Belanda dibuatkan makam terbaik yang kini beralihfungsi menjadi Museum Wayang.
Perlawanan heroik dari berbagai kerajaan nusantara inilah yang kemudian membuat Belanda kalang kabut. Bahkan, pertempuran demi pertempuran mamsih terus berlanjut dalam rangka merebut kemerdekaan dari bangsa penjajah. Berikut ulasan singkat mengenai lima perang besar sepanjang sejarah bangsa Indonesia.
Perang Jawa (1741-1743)
Perang Jawa merupakan perang besar di masa pemerintah kolonial Belanda. Dilansir dari laman boombastis.com, perang ini melibatkan bala tentara Jawa dan etnis Tionghoa yang geram dengan pendudukan serdadu Belanda di Batavia. Kompeni bahkan tega membanti ribuan orang etnis Tionghoa dalam jangka waktu dua pekan.
Akhirnya, sentimen anti-kolonial meluas hingga ke wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Belanda kala itu diperkuat sekira 3.400 tentara bersenjata lengkap, sedangkan pasukan pribumi menang jumlah dengan mencapai puluhan ribu tentara namun mereka hanya menggunakan senjata ala kadarnya. Pertempuran ini akhirnya berhasil diredam Belanda dan kerajaan di Tanah Jawa perlahan tapi pasti berhasil dikuasai.
Perang Diponegoro (1825-1830)
Perang yang dijuluki Perang Jawa jilid II ini melibatkan kekuatan yang jauh lebih besar. Terdapat sekira 100 ribu tentara di bawah komando Pangeran Diponegoro menyerang serdadu Belanda. Pertempuran ini berlangsung selama lima tahun.
Kemenangan akhirnya berpihak pada Belanda. Meski keluar sebagai pemenang perang, namun Belanda menderita kerugian materi sangat besar sehingga diambang kebangkrutan. Dari sinilah Johannes van den Bosch akhirnya mengeluarkan perintah sistem tanam paksa (cultuurstelsel) yang membuat para penduduk di Tanah Jawa kian menderita.
Pertempuran Batavia (1628-1629)
Aktor penyerbuan Batavia tidak lain ialah Sultan Agung dari Mataram. Penyerbuan itu dilatarbelakangi oleh VOC yang memonopoli perdagangan. VOC juga menolak mengakui kedaulatan Mataram. Keberadaan VOC di tanah Batavia yang dianggap sebagai ancaman serius bagi masa depan Pulau Jawa membuat Sultan Agung tidak tinggal diam.
Sultan Agung lalu mengerahkan banyak pasukan untuk menyerang Batavia yang saat itu dipimpin oleh Jan Pieterszoon (JP) Coen. Sebanyak dua kali serangan ke Batavia dilancarkan. Namun, lagi-lagi Belanda berhasil memenangkan pertempuran. Banyak tentara dari Sultan Agung meninggal dunia akibat penyakit kolera dan malaria. Namun, meski kalah, pasukan Mataram tak kehilangan akal.
Mereka mengirimkan wabah penyakit ke Batavia. Prajurit Mataram lalu mencemari Sungai Ciliwung dengan bangkai binatang. Hasilnya efektif, selang tak berapa lama Batavia diserang wabah kolera lantaran meminum air dari Sungai Ciliwung yang terkontaminasi bangkai tadi.
Banyak warga tewas akibat penyakit ini, termasuk istri JP Coen, Eva Ment. Empat hari berselang, JP Coen juga meninggal dunia lantaran wabah tersebut. Jenazahnya pun oleh Belanda dibuatkan makam terbaik yang kini beralihfungsi menjadi Museum Wayang.
Serangan 10 November 1945 (Surabaya)
Peperangan besar meletus pada 10 November 1945 di Surabaya, Jawa Timur. Perang ini banyak menelan korban jiwa. Diperkirakan ada 160 ribu pejuang gugur melawan pasukan Netherlands-Indies Civil Administration (NICA) dan sekutu.
Korban berjatuhan itu karena pertempuran tidak seimbang. Sebagian besar pejuang hanya bermodal senjata seadanya seperti bambu runcing, sedangkan tentara sekutu dan NICA menggunakan senjata lengkap saat itu.
Pertempuran ini dimulai pada 19 September 1945. Tepatnya di Hotel Oranye yang saat ini menjadi Hotel Majapahit. Pemicunya, di hotel tersebut masih terpasang bendera Belanda dengan warna Merah-Putih-Biru.
Saat itu, sejumlah warga di Surabaya tersinggung atas pemasangan bendera tersebut. Alasannya, Indonesia sudah merdeka dan mendapat kedaulatannya.
Para pejuang kemudian menyerbu Hotel Oranye untuk meminta penurunan bendera Belanda tersebut. Namun, permintaan itu tidak digubris oleh pihak Belanda yang saat itu berada di Hotel Oranye. Mereka bahkan menolak dengan congkak dengan bertolak pinggang.
Akhirnya, Kepala Wilayah di bawah Gubenur Jenderal Sudirman menyambangi lokasi tersebut. Kedatangan Residen Sudirman juga tidak disambut baik oleh pihak Belanda. Hingga akhirnya massa di luar hotel memaksa masuk menurunkan bendera Belanda.
Bendera Belanda lalu disobek warna birunya hingga tinggal merah dan putih yang kemudian kembali dikibarkan. Penyobekan bendera itu ternyata membuat berang Belanda yang tak sudi mengakui kemerdekaan Indonesia. Akhirnya tentara NICA mengikutsertakan sekutu dalam agresinya yang memunculkan perlawanan demi perlawanan di Surabaya.
Pada 30 Oktober 1945 perlawanan kian besar. Bahkan, sebagai bentuk perlawanan itu, KH Hasyim Asy'ari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) mengeluarkan resolusi jihad.
Akibat pertempuran ini, Jenderal AWS Mallaby, pimpinan tentara Inggris tewas saat baku tembak di Jembatan Merah, Surabaya. Kematian Mallaby menyulut pertempuran yang lebih besar pada 9 November 1945. Saat itu, Surabaya dikepung dari berbagai penjuru, mulai darat, laut, hingga udara.
Serangan Umum 1 Maret 1949 (Yogyakarta)
Menurut berbagai literatur dan sumber yang didapat, peristiwa yang berlangsung selama enam jam oleh anggota TNI dari Divisi III/GM III, pada 1 Maret 1949 terhadap Kota Yogyakarta menjadi catatan tersendiri bagi sejarah bangsa Indonesia.
Tujuan Serangan Umum 1 Maret adalah untuk menunjukkan pada dunia internasional bahwa eksistensi Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih ada.
Dalam serangan tersebut, pasukan TNI mampu mengadakan perlawanan terhadap tentara Belanda yang memiliki peralatan tempur lebih modern dibanding pasukan TNI dengan senjata seadanya.
Serangan Umum 1 Maret inilah yang kemudian mampu menguatkan posisi tawar NKRI dan mempermalukan Belanda yang seenaknya mengklaim kekuatan Indonesia sudah melemah saat itu.
Peperangan besar meletus pada 10 November 1945 di Surabaya, Jawa Timur. Perang ini banyak menelan korban jiwa. Diperkirakan ada 160 ribu pejuang gugur melawan pasukan Netherlands-Indies Civil Administration (NICA) dan sekutu.
Korban berjatuhan itu karena pertempuran tidak seimbang. Sebagian besar pejuang hanya bermodal senjata seadanya seperti bambu runcing, sedangkan tentara sekutu dan NICA menggunakan senjata lengkap saat itu.
Pertempuran ini dimulai pada 19 September 1945. Tepatnya di Hotel Oranye yang saat ini menjadi Hotel Majapahit. Pemicunya, di hotel tersebut masih terpasang bendera Belanda dengan warna Merah-Putih-Biru.
Saat itu, sejumlah warga di Surabaya tersinggung atas pemasangan bendera tersebut. Alasannya, Indonesia sudah merdeka dan mendapat kedaulatannya.
Para pejuang kemudian menyerbu Hotel Oranye untuk meminta penurunan bendera Belanda tersebut. Namun, permintaan itu tidak digubris oleh pihak Belanda yang saat itu berada di Hotel Oranye. Mereka bahkan menolak dengan congkak dengan bertolak pinggang.
Akhirnya, Kepala Wilayah di bawah Gubenur Jenderal Sudirman menyambangi lokasi tersebut. Kedatangan Residen Sudirman juga tidak disambut baik oleh pihak Belanda. Hingga akhirnya massa di luar hotel memaksa masuk menurunkan bendera Belanda.
Bendera Belanda lalu disobek warna birunya hingga tinggal merah dan putih yang kemudian kembali dikibarkan. Penyobekan bendera itu ternyata membuat berang Belanda yang tak sudi mengakui kemerdekaan Indonesia. Akhirnya tentara NICA mengikutsertakan sekutu dalam agresinya yang memunculkan perlawanan demi perlawanan di Surabaya.
Pada 30 Oktober 1945 perlawanan kian besar. Bahkan, sebagai bentuk perlawanan itu, KH Hasyim Asy'ari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) mengeluarkan resolusi jihad.
Akibat pertempuran ini, Jenderal AWS Mallaby, pimpinan tentara Inggris tewas saat baku tembak di Jembatan Merah, Surabaya. Kematian Mallaby menyulut pertempuran yang lebih besar pada 9 November 1945. Saat itu, Surabaya dikepung dari berbagai penjuru, mulai darat, laut, hingga udara.
Serangan Umum 1 Maret 1949 (Yogyakarta)
Menurut berbagai literatur dan sumber yang didapat, peristiwa yang berlangsung selama enam jam oleh anggota TNI dari Divisi III/GM III, pada 1 Maret 1949 terhadap Kota Yogyakarta menjadi catatan tersendiri bagi sejarah bangsa Indonesia.
Tujuan Serangan Umum 1 Maret adalah untuk menunjukkan pada dunia internasional bahwa eksistensi Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih ada.
Dalam serangan tersebut, pasukan TNI mampu mengadakan perlawanan terhadap tentara Belanda yang memiliki peralatan tempur lebih modern dibanding pasukan TNI dengan senjata seadanya.
Serangan Umum 1 Maret inilah yang kemudian mampu menguatkan posisi tawar NKRI dan mempermalukan Belanda yang seenaknya mengklaim kekuatan Indonesia sudah melemah saat itu.